April 03, 2014

Alasan Mengapa Anak tidak boleh di ajari calistung

Oleh Yandi Widianto
Ditulis ulang oleh : Ifah


Mayoritas orang Indonesia tidak memahami perkembangan otak anak, hal ini mengakibatkan para orang tua salah mengasuh dan para guru salah mendidik. Nah itu terjadi saat kita beranjak usia dini (0-8 tahun). Mungkin ada beberapa orang tua yang memaksakan anaknya untuk belajar calistung di usia emas, bahkan sampai ada yang memaksanya untuk ikut les calistung saat anak usia dini,nah ternyata tindakan ini salah besar. akibat dari kesalahan ini antara lain
  1. Banyak orang yang seharusnya sudah dewasa tetapi bertingkah seperti anak-anak. Contonya kaya anggota DPR di kita, tingkahnya sama persis kaya anak TK. Kerja ngga bener tapi minta imbalan lebih, gak di kasih sama rakyat eh malah ngelunjak dengan korupsi, dan mereka tidak merasa bersalah malah ngeles terus di pengadilan, dan sikap kekanak-kanakan lainnya.
  2. Indonesia lebih banyak mencetak insan-insan yang bermental pegawai bukan visioner, bukan juga pakar/ahli di bidang masing-masing, bukan orang-orang yang bermental membuka lowongan kerja. Rakyat Indonesia tidak suka mengambil resiko kegagalan, pilih jadi pegawai karena tenang mendapat gaji bulanan, tapi giliran di PHK kelabakan gak punya keterampilan.
  3. Kita terbiasa mengapresiasi orang-orang yang berprestasi di lihat dari “RANGKING (5/10 besar)”, nilai yang sempurna (80 – 100). Kita jarang mengapresiasi kerja keras mereka dalam belajar. Padahal ada anak yang sudah belajar mati-matian tapi mereka tetep gak dapet nilai bagus, gak dapet rangking karena kemampuan mereka tidak sama dan bakat mereka pun berbeda-beda. Akibatnya? Ketika UN, sekolah, pemerintah, bahkan hingga orang tua sendiri melakukan kecurangan (sudah terjadi bukan?). beda halnya kalau anak-anak kita di didik dengan dihargai kerja kerasnya bukan angka atau nilainya semata, mereka pasti menolak untuk curang, karena mereka PD dengan hasil usaha belajarnya sendiri. 

Sambungan otak anak-anak itu belum sempurna, otak mereka baru siap menerima hal-hal kognitif pada usia 7-8 tahun. Sebelum usia itu, dunia mereka yang pantas adalah hanya bermain, bermain dan bermain. Dan mereka pun tidak boleh di MARAHI jika melakukan kesalahan. Tugas orangtua dan guru adalah membingbing anak untuk memahami kesalahannya, dan membantu menemukan solusi untuk memperbaikinya. Dengan demikian, kesalahan bukan hal yang menjatuhkan harga diri anak, namun memotivasi anak untuk terus belajar dan mencoba lagi.(Anna farida, dkk).  
So, apa yang harus kita ajarkan pada mereka?
  1. Jangan pernah diMARAHI, jika mereka berbuat salah, tapi bimbinglah ia untuk menemukan solusinya dan memperbaiki diri .
  2.  Tidak di ajarkan MEMBACA, MENULIS, dan MENGHITUNG.
  3. Bermain Role play ; ajarkan kepada mereka untuk memahami bahasa tubuh, suara dan wajah, yang memberikan pengalaman emosional, field trip, mendengarkan music (lebih tepatnya mendengarkan murratal qur’an) dan mendengarkan dongeng/ kisah para sahabat rasul.
  4. Bahkan, anak usia 0-12 tahun pengasuhan dan pendidikannya ditujukan untuk membangun emosi yang tepat, empati, mood & feeling. 
Para peneliti otak diseluruh dunia sepakat bahwa seorang anak belum siap untuk di JEJALKAN hal-hal yang kognitif. Apa akibat dari pemaksaan terhadap hal-hal yang sidatnya kognitif? 
    1. Membuat anak tidak mampu menunjukkan emosi yang tepat (NAH KITA LIAT, ORANG DEWASA INDONESIA SAAT INI).
    2. Intra personalnya terganggu (gangguan terhadap pengendalian emosional, yah kaya tempramen, sukanya tergesa-gesa dalam melakukan segala sesuatu). Dan
    3.  Sulit menunjukkan Empati…
Ternyata sebelum ada ahli otak yang meneliti, Rasulullah sudah menerapkan  cara mendidik anak-anak(cucu-cucunya) dengan bermain. Bahkan pribadi sekelas Ras
source:google image
ululah saw menegaskan bahwa pentingnya bermain bagi anak-anak. Bermain yang dimaksudkan disini dalam konteks aktivitas yang menyenangkan dan bermuatan pendidikan yaa, ternyata sangat efektif bagi pendidikan anak.